EDARAN LIBUR PASKAH TAHUN 2024

Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air di NTT


Oleh: Ir. Andreas Wellem Koreh, MT
Kepala Dinas PU Provinsi NTT


BERBICARA tentang wilayah, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 1.192 pulau, 432 pulau mempunyai nama dan 44 pulau  berpenghuni. Kondisi iklim yang relatif kering dimana musim hujan hanya berlangsung 3-4 bulan dan sebagian besar, yaitu 8-9 bulan kemarau menjadikan wilayah NTT mengalami permasalahan Sumber Daya Air (SDA) yang sangat serius.
Wilayah di NTT memiliki suhu yang bervariasi.  Dari 10 stasiun meteorologi/klimatologi di NTT, tercatat suhu tertinggi pada tahun 2015 adalah 37,4 0C dan terendah adalah 8,8 0C. Secara umum daerah NTT tergolong panas dengan rata-rata suhu antara 26-28 0C sepanjang tahun 2015 dengan pengecualian beberapa wilayah yang memiliki rata-rata suhu 19,9 0C. Rata-rata curah hujan yang tercatat pada stasiun meteorologi/klimatologi adalah antara 600-2.700 mm3. Berdasarkan jumlah hari hujan dalam setahun, Kabupaten Manggarai memiliki jumlah hari hujan tertinggi, yaitu 160 hari hujan disusul Manggarai Barat dengan 125 hari hujan dan Ngada dengan 121 hari hujan. Sedangkan daerah yang memiliki jumlah hari hujan terendah adalah Kabupaten Sumba Tengah dengan 31 hari hujan disusul Timor Tengah Selatan dengan 62 hari hujan dan Timor Tengah Utara dengan 68 hari hujan pada tahun 2015. Melihat karakteristik wilayah dan iklim di NTT maka dapat dikatakan bahwa kondisi iklim sangat bervariasi setiap daerah. Variasi tersebut akan sangat mempengaruhi adaptasi masyarakat di dalam setiap aktivitas kehidupannya.
Kondisi sumber daya air di Provinsi NTT telah dihitung dan bisa dilihat pada grafik Neraca Air berikut:
Dengan asumsi curah hujan rata-rata 1.200 mm/tahun maka dari hasil perhitungan menghasilkan ketersediaan air sebesar 18.257 milyar m3. Namun secara keseluruhan,  Provinsi NTT mengalami defisit air sebesar ± 1,5 milyar m3. Hal ini disebabkan distribusi hujan yang melimpah tapi mempunyai durasi yang relatif pendek, yaitu 3-4 bulan dan sebagian besar terjadi musim kemarau. Dari neraca air terlihat bahwa kondisi basah terjadi pada bulan Desember-Mei, dimana ketersediaan air berlimpah, yang berpotensi menimbulkan bencana alam banjir. Kondisi kering berada pada bulan Juni-November terjadi defisit ketersediaan air yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan.
Neraca air yang telah dihitung, mempunyai implikasi terhadap pemenuhan air untuk kebutuhan masyarakat maupun pertanian. Kebutuhan air di Provinsi NTT dibagi menjadi tiga dengan total kebutuhan sebesar 10,03 milyar m3/tahun.
1. Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi  digunakan untuk mengairi areal daerah irigasi  di Provinsi NTT seluas 355.969 Ha, yang terdiri dari: Daerah Irigasi (DI) kewenangan pusat sebanyak 26 DI dengan total areal 106.689 Ha, Daerah Irigasi kewenangan provinsi sebanyak 42 DI dengan total areal 60.328 Ha, Daerah Irigasi kewenangan kabupaten/kota sebanyak 3.069 DI dengan total areal 188.952 Ha. Berdasarkan asumsi kebutuhan air irigasi 1,5 liter/detik/Ha maka total kebutuhan air irigasi sebesar 9.401.158.779,84 m3


2. Kebutuhan Air Baku
Kebutuhan air baku diasumsikan 75 liter/orang/hari dengan jumlah penduduk sekitar 5.120.061 jiwa, maka total kebutuhan air baku sebesar 140.161.669 m3.


3. Kebutuhan Air non Irigasi
Kebutuhan air non irigasi terdiri dari Kebutuhan air MDI (Municipal Domestic and Industry), kebutuhan air untuk peternakan, kebutuhan air untuk perikanan, dan kebutuhan air untuk pemeliharaan. Total kebutuhan air non irigasi sebesar 489.192.432,78 m3.


Kelebihan air pada bulan basah dapat dimanfaatkan dengan membangun bangunan penampung-penampung air seperti bendungan/waduk, embung irigasi dan embung kecil. Bangunan-bangunan air tersebut disamping untuk menampung air dan digunakan pada bulan kering, berfungsi juga sebagai pengendali banjir dan konservasi (menaikkan muka air tanah). Dengan defisit air ± 1,5 milyar m3 maka masih diperlukan banyak sarana bangunan penampung air di Provinsi NTT.
Hasil analisis perhitungan kebutuhan bangunan air untuk mengatasi defisit air tersebut adalah  waduk sebanyak 70 buah, embung irigasi sebanyak 100 buah, embung kecil sebanyak 4000, dan sumur bor sebanyak 3000 buah. estimasi total tampungan adalah 1,59 milyar m3.
Sampai dengan tahun 2014 pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi NTT telah membangun bangunan penampung air  hujan berupa embung kecil sebanyak 910 buah, embung irigasi 32 buah, dan bendungan/waduk satu buah yaitu Waduk Tilong. Berdasarkan hasil identifikasi, potensi pembangunan bendungan/waduk di Provinsi NTT sebanyak 50 buah yang tersebar di tiga pulau besar, yaitu Pulau Sumba, Pulau Timor, Pulau Flores. Keterbatasan dana terutama oleh Pemerintah Provinsi NTT mengakibatkan proses pembangunan berjalan relatif lambat. Namun beberapa tahun terakhir pemerintah pusat melalui Kementerian PU-PR berusaha mempercepat proses pembangunan sarana prasarana sumber daya air (SDA). Program kerja Kementerian PU-PR tahun 2015-2019 di antaranya adalah pembangunan 65 bendungan/waduk di seluruh Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Bendungan baru yang akan dibangun jumlahnya adalah 49, dan tujuh bendungan di antaranya dibangun di NTT.
Pembangunan tujuh buah bendungan/waduk merupakan bukti komitmen pemerintah pusat untuk mengatasi krisis air di Provinsi NTT. Paling tidak sampai dengan 2019 ketujuh bendungan tersebut diharapkan dapat selesai dikerjakan. Ketujuh bendungan itu adalah Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang, Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu, Bendungan Napunggete di Kabupaten Sikka, Bendungan Lambo di Kabupaten Nagekeo, Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Bendungan Manikin di Kabupaten Kupang, dan Bendungan Kolhua di Kota Kupang. Berikut adalah sekilas gambaran tujuh bendungan di Provinsi NTT :
1. Bendungan Raknamo
Bendungan Raknamo terletak di Desa Raknamo Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang. Bendungan ini direncanakan mampu mengairi Daerah Irigasi Raknamo seluas 1.250 ha serta air baku sebesar 100 liter/detik untuk masyarakat sekitar serta daerah Oelamasi (Ibukota Kabupaten Kupang), serta pengendalian banjir di daerah hilir. Pembangunan Bendungan Raknamo telah terkontrak pada 26 November tahun 2014. Progres pembangunan Bendungan Raknamo saat ini 78% dari rencana 26%.


2. Bendungan Rotiklot
Bendungan Rotiklot terletak di Desa Fatuketi Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Pada dataran A ini ba setiap tahun mengalami banjir yang merendam 322 KK, menjawab tantangan dan  peluang direncanakan Bendungan Rotiklot yang mampu mengairi 140 Ha (Padi), 500 Ha (Palawija) selain 40 liter/detik air baku untuk masyarakat sekitar dan Pelabuhan Atapupu.  Pembangunan Bendungan Rotiklot  telah terkontrak pada 27 November tahun 2015. Progres Bendungan Rotiklot saat ini 32% dari rencana  25%.


3. Bendungan Napunggete
Bendungan Napunggete terletak di Desa Ilin Medo Kecamatan Waiblama Kabupaten Sikka. Bendungan Napunggete menjawab kebutuhan Kota Maumere (Ibukota Kabupaten Sikka) saat ini mengalami krisis air bersih, Bendungan direncanakan mampu menyuplai air bersih sebesar 200 liter/detik selain untuk intensifikasi areal irigasi DI Nebe seluas 230 ha.


Status persiapan pembangunan Bendungan Napunggete hari ini menunggu penetapan pemenang dari Menteri PUPR dan persetujuan multy years contract dari Menteri Keuangan. Rencana kontrak tanggal 2 Desember 2016 dan groundbreacking oleh Presiden RI pada tanggal 13 Desember 2016 bertepatan dengan Hari Nusantara yang dipusatkan di Kabupaten Lembata.
4. Bendungan Manikin/Tefmo
Bendungan Manikin terletak di Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Bendungan Manikin merupakan salah satu skema untuk pemenuhan air bersih bagi Kota Kupang selain Bendungan Kolhua, mempunyai  potensi untuk pengembangan areal pertanian seluas 1.030 ha dan air bersih dengan debit sebesar 298 liter/detik.


5. Bendungan Mbay/Lambo
Bendungan  Mbay/Lambo terletak di Desa Labolewa  Kecamatan Aesesa Selatan  Kabupaten Nagekeo.  Bendungan ini terletak di bagian hulu Kota Mbay yang merupakan Ibukota Kabupaten Nagekeo. Dataran Mbay terletak pada hamparan yang relatif datar dan mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian, Bendungan direncanakan mampu menyuplai untuk Daerah Irigasi Sutami seluas 5.200 Ha serta air baku untuk kota sebanyak 200 liter/detik.


6. Bendungan Temef
Bendungan Temef terletak di Desa Oeninio Kecamatan Oenino Kabupaten TTS. Sungai Temef merupakan salah satu anak sungai Benanain yang setiap tahun mengalami banjir di dataran Malaka, Bendungan ini diharapkan dapat mereduksi banjir selain dapat menambah areal  Irigasi untuk intensifikasi 1.152 Ha dan ekstensifikasi 4.097 Ha serta potensi PLTM sebesar 2 x 1,1 MW


7. Bendungan Kolhua/Helong
Bendungan Kolhua terletak di Desa Kolhua, Kecamatan Maulafa Kota Kupang. Setiap musim kemarau Kota Kupang selalu mengalami krisis air bersih. Bendungan direncanakan mampu menyuplai air bersih dengan system gravitasi ke kotas ebesar  150 liter/detik.


Di balik komitmen yang kuat dari pemerintah pusat untuk membangun tujuh bendungan seperti tersebut di atas, bukan berarti semuanya berjalan mulus sesuai rencana. Bendungan Kolhua misalnya, telah mengalami penolakan masyarakat. Daerah bendungan dan genangan terletak pada lahan pertanian milik warga masyarakat, proses pembebasan lahan oleh Pemerintah Kota Kupang masih terkendala pro dan kontra dalam masyarakat. Beberapa hal yang berkaitan dengan Penolakan terhadap Pembangunan Bendungan Kolhua :
* Study Amdal gagal di Tim Teknis Komisi Amdal  Provinsi NTT pada tahun 2012 dan tahun 2015, karena ada penolakan dari  masyarakat pemilik lahan.
*  Surat KOMNAS HAM RI Nomor : 1.327/K/PMT/VI/2014  tanggal 12 Juni 2014, Perihal : Rekomendasi Berkenaan Dengan Rencana Pembangunan Bendungan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang pada intinya, pengadu menyampaikan keberatan atas rencana Pemerintah Kota Kupang untuk membangun Bendungan Kolhua seluas 118,60 Ha dengan alasan bahwa lahan tersebut merupakan produktif, baik lahan pertanian, perkebunan (hutan Jati) dan sumber makanan ternak ( kambing dan sapi). Selain itu, lahan tersebut merupakan tanah ulayat yang merupakan satu kesatuan melekat pada masyarakat adat, dan terdapat pemakaman leluhur.
 Namun karena sudah masuk dalam rancangan pembangunan nasional, maka pelaksanaannya harus dilakukan. Jika terjadi kesulitan pembebasan lahan maka ada jalan yaitu berdasarkan Undang-undang dan peraturan, maka pemerintah dapat mengambil alih lahan masyarakat untuk kepentingan umum. Kalau hal ini yang terjadi maka yang rugi adalah masyarakat pemilik lahan itu sendiri.


Dukungan Stakeholder dalam Pembangunan Infrastruktur
Salah satu kebijakan dasar pengelolaan air di Indonesia adalah pendayagunaan sumber air harus berdasarkan prinsip partisipasi dan konsultasi pada masyarakat di setiap tingkat dan mendorong tumbuhnya komitmen bersama antarpihak terkait (stakeholder) dan penyelenggaraan aktivitas-aktivitas yang layak secara sosial.


Dukungan berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air di daerah. Berbagai elemen dalam masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat dalam prosesnya. Pembangunan yang dilakukan bukan serta merta terjadi begitu saja. Contoh kasus seperti pembangunan Waduk Kolhua yang sampai saat ini belum ada kepastian terkait pembebasan lahan. Situasi politik yang terjadi dapat membuat situasi bertambah pelik. Mestinya kondisi keuangan daerah yang masih belum mencukupi dan di sisi lain ada komitmen dari pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur sumber daya air merupakan hal yang menggembirakan dan sudah sepatutnya mendapat dukungan dari semua komponen di Provinsi NTT.
Paling tidak ada empat komponen dalam mendukung pembangunan infrastruktur di daerah, yaitu:
1. Dukungan dari pemerintah pusat dan daerah
Dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, mutlak untuk dilakukan. Dukungan tersebut bukan saja pada saat pelaksanaan, tetapi lebih pada saat dilakukan penyiapan lokasi. Masalah sosial dan pembebasan lahan perlu diperhatikan oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Perlu pendekatan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan menjamin kepastian hukum dalam perolehan tanah bagi pelaksanaan pembangunan.


Komitmen pemerintah itu sendiri dapat tercermin dari struktur APBN, APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota. Pada tahun 2016 ini, APBN mengalokasikan dana sebesar ± 11 triliun rupiah, dan sekitar 43,8 % merupakan dana untuk membangun infrastruktur di NTT. Untuk APBD Provinsi NTT dialokasikan sekitar 12,9 % dari total anggaran ± 3,5 triliun rupiah. Secara keseluruhan komposisi dana pembangunan NTT meliputi : Sektoral 21 %, APBD Provinsi NTT 10 %, APBD kabupaten/kota 51 %, tugas pembantuan 10 %, dana dekonsentrasi 4 %, program bersama 2 %, mitra lembaga Internasional 2 %. Dengan demikian sinergitas secara vertikal maupun horisontal sangat dibutuhkan. Jika tidak demikian maka akan berpotensi terjadi ketimpangan dalam proses pembangunan di Provinsi NTT ini.
2. Dukungan Masyarakat
Peran serta dan dukungan dari masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap proses pembangunan yang dilaksanakan. Untuk itu masyarakat perlu senantiasa diberikan pemahaman yang baik dan selalu dilibatkan dalam setiap tahapan pembangunan. Hal ini dipandang perlu untuk merekatkan hubungan emosional masyarakat dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap setiap aspek pembangunan. Pemerintah memang sudah mulai untuk mengadakan pertemuan dalam bentuk seminar dan lokakarya tentang pengelolaan sumber daya air. Dinas PU Provinsi NTT sendiri selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait pembangunan infrastruktur yang akan dibangun. Sosialisasi kepada msayarakat terkait Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) secara umum juga dilakukan pada bulan Oktober 2016.


Kesadaran masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan sumber daya air di wilayahnya masing-masing sudah terbentuk. Akan tetapi, secara umum hasilnya belum tampak nyata. Mungkin diperlukan suatu penyadaran publik secara terus-menerus dengan banyak cara. Persoalan sosial dan penolakan masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur yang terjadi menjadi bahan perenungan kita bersama di provinsi yang serba minus ini. Terkadang tidak dipungkiri bahwa ada politisasi dari pihak/golongan tertentu yang tidak ingin ada kemajuan di bumi Flobamora ini.
3. Dukungan LSM/NGO
Persoalan pengelolaan sumber daya air bukan lagi hanya menjadi urusan pemerintah, melainkan merupakan urusan bersama semua pihak. Peranan LSM/NGO juga sangat penting. Beberapa LSM/NGO besar telah aktif berperan bersama-sama Pemerintah terutama dalam hal advokasi terhadap masyarakat. Hal tersebut mempunyai pengaruh yang positif terkait kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun di sisi lain, ada LSM/NGO yang didirikan dengan motif tertentu. Motif yang dimaksud adalah hal yang kontradiktif dengan program/kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Apalagi pendirian suatu badan seperti halnya LSM sangat mudah untuk dilakukan. Cukup dengan modal beberapa ratus ribu rupiah saja badan usaha atau LSM sudah dapat menjalankan kegiatannya. Akte pendiriannya pun tergolong relatif murah. Ada LSM yang cukup giat terutama terkait pengelolaan SDA, seperti Yayasan Pikul yang beberapa waktu terakhir telah mengadakan penelitian terkait pengelolaan SDA berkelanjutan dengan kearifan lokal berdasarkan aspek sosial budaya yang kental di NTT. Hal tersebut tentunya sangat mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah, sehingga pengelolaan sumber daya air dapat berkelanjutan (sustainable).  


4. Dukungan Media
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, disebutkan bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Keterbukaan informasi publik sekaligus menjadi sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik dan merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informatif yang semakin berkualitas.


Peranan media, baik media cetak, media elektronik maupun media sosial yang akhir-akhir ini menjadi sorotan di Indonesia. Dalam era keterbukaan dan transparansi dewasa ini menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat sangat penting untuk dilakukan.
Media yang dapat diakses oleh publik mempunyai efektivtas dalam mempengaruhi persepsi publik. Dengan demikian etika dan tanggung jawab moril perlu diperhatikan dan dijalankan dengan sungguh-sungguh. Pada akhirnya bukan pemerintah yang rugi, karena pemerintah pada hakekatnya adalah berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terkadang pemberitaan yang kita baca terutama media cetak, memberikan informasi yang kurang beretika dan cenderung tendensius. Hal tersebut sangat disayangkan. Terkadang alasan "a bad news is a good news" dipakai sebagai pembenaran terhadap konten yang sebenarnya merupakan suatu kesesatan berpikir (fallacy).
Pemerintah sangat mengharapkan dukungan dari pers secara optimal. Dengan pemberitaan yang berkualitas akan menjadi sinergi yang baik. Hal lain adalah dengan informasi yang baik dapat meningkatkan partisipasi dari masyarakat yang pada akhirnya dapat meninngkatkan kualitas pembangunan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di NTT tercinta ini.
Akhir kata saya mengucapkan "Dirgahayu Hari Bhakti Pekerjaan Umum ke-71" tahun 2016. Dengan semangat "Bekerja Lebih  Keras, Bergerak  Lebih  Cepat dan  Bertindak Lebih Tepat" Kita tingkatkan pembangunan infrastruktur yang berbasis penataan ruang yang andal dalam mendukung pengembangan wilayah dan permukiman agar terwujud masyarakat NTT yang berkualitas, sejahtera dan demokratis. Kiranya TUHAN senantiasa menaungi dan melindungi kita sekalian!
sumber:

Komentar