SELEKSI PENERIMAAN PPPK LINGKUP PEMPROV NTT T.A 2024

Ketahuan PNS Kerja Proyek


KUPANG, TIMEX – Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Kupang, Selasa (20/6) berlangsung alot. Para anggota Banggar ‘mengadili’ Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum, Yusuf Made.
Alotnya pembahasan temuan BPK di Dinas PU Kota Kupang lantaran Kabid Bina Marga Yusuf Made dinilai tak jujur memberikan penjelasan soal temuan BPK. Sesuai temuan BPK, terdapat Rp 80.250.000 biaya sewa alat berat belum disetor ke kas daerah. Bahkan, BPK menyatakan ada indikasi uang ini sudah disalahgunakan. Namun Yusuf Made masih berbelit-belit memberikan penjelasan kepada Banggar.
Anggota Banggar, Adrianus Talli mempertanyakan alasan kenapa uang ini belum disetor ke kas daerah. Sayangnya, Yusuf Made tidak menjawab inti pertanyaan tersebut. Ia mengelak dengan mengatakan total biaya penyewaan alat berat Rp 80.250.000 dan sebanyak Rp 30 juta sudah disetor ke kas daerah. Sisanya Rp 50 juta masih ada di pihak ketiga. Masih ada penyewa alat berat yang sampai hari ini belum membayar biaya sewa. “Kami tetap komunikasi dengan mereka untuk menyetor,” kata Yusuf.
Jawaban ini sontak membuat Banggar riuh. Adi Talli-sapaan karib Adrianus Talli secara tegas menyatakan bahwa pernyataan Yusuf Made bertolak belakang dengan LHP BPK. Pasalnya, di LHP BPK pihak penyewa sudah menyetor biaya sewa. Namun yang menerima setoran tersebut belum menyetor ke kas daerah. “Di LHP sudah ada rincian nama-nama yang terima kemudian disetor oleh siapa sudah jelas. Persoalannya uang ini sudah disetor oleh pengguna alat berat. Tapi uang ini belum disetor ke kas daerah. Kenapa sampai ini terjadi. Ini yang jadi pertanyaan,” kata Adi.
Yusuf Made kembali berkelit bahwa ada penyewa yang memang terlambat menyetor. “Baru setor di Desember dan waktu itu bendahara katakan kas sudah tutup. Ada yang belum setor sama sekali. Ada yang sudah setor dan sudah diserahkan ke Dispenda. Yang belum setor itu kami masih meminta ke pihak ketiga untuk setor,” kata Yusuf yang membuat sejumlah anggota Banggar tertawa.
Adi menambahkan, temuan lain oleh BPK yakni Dinas PU tidak menjalankan SOP dengan baik. Ini terbukti dengan ada oknum-oknum PNS yang ikut kerja proyek di dinas tersebut. Mereka bisa menyewa alat berat. “Apakah seorang PNS atau ASN bisa meminjam alat berat? Setahu saya yang bisa meminjam itu hanya pengusaha. Kita harus luruskan,” ungkap Adi.
Namun, Yusuf Made menjawab bahwa tidak ada oknum PNS yang menyewa alat berat. Sontak saja Adi membuka LHP BPK, yakni di lampiran bahwa ada nama-nama PNS yang ikut menyewa alat berat. Dua nama yang disebut adalah Lipus Kase dan Mae Salean. “Apakah mereka pengusaha? Saya butuh penjelasan. Apakah mereka pengusaha atau bukan,” Tanya Adi lagi.
Pimpinan rapat, Christian Baitanu pun meminta Yusuf Made jujur menjawab sehingga tidak memperpanjang pembahasan di Banggar. “Klarifikasi ini supaya pengalaman ini jangan terulang lagi di waktu yang akan datang. Di LHP ini nama jelas. Ini ketahuan kan. Lipus Kase dan Mae Salean. Nama jelas itu. Kalau Pak Kabid bilang tidak ada bagaimana,” kata Chris.
Adi Talli kembali menegaskan, dengan kasus ini, maka harus dibuat SOP yang jelas tentang penyewaan alat berat. “Harus ada SOP penyewaan alat berat. Sehingga tidak semua orang bisa dengan seenaknya menggunakan alat ini. Padahal pengusaha yang betul-betul membutuhkan itu banyak. Biaya penyewaan ini juga dikasih ke Kasubang Keuangan bukan kepada Kabid Bina Marga. Kan semua punya tugas yang jelas kan,” kata Adi.
Pada kesempatan itu, anggota Banggar Melki Bale menambahkan kasus seperti ini pernah terjadi di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Penyewaan alat berat menjadi kasus karena tidak setor ke kas daerah. Dua orang PNS tidak membayar biaya sewa ke kas daerah akhirnya masuk penjara. “Karena temuan BPK ini sudah jelas. Dalam UU Perbendaharaan Negara dalam hal temuan BPK paling lambat 60 hari sudah disetor kembali. Ada kurang Rp 50-an juta harus disetor terhitung LHP diserahkan. Kalau tidak ini membuka ruang bagi aparat penegak hukum. Apa yang dijelaskan Kabid ternyata berbeda dengan apa yang tertuang dalam LHP,” kata Melki.
Anggota Banggar lainnya, John G. F. Seran mengatakan dinas tidak perlu lagi menyembunyikan hal-hal seperti ini karena sudah menjadi temuan BPK. Dikatakan, sesuai tabel di LHP BPK, Lipus Kase dan Mae Salean sepertinya sebagai pemilik perusahaan. Dan dalam tabel itu juga, semua orang bisa menerima uang. “Kenapa tidak setor ke kas daerah lalu tinggal bawa struk dan kasi ke Dinas PU? Di sini jelas siapa yang sewa, uang dikasih ke siapa sudah jelas. Menurut saya bukan besarnya uang, tapi ada niat yang kurang pas di sini. Bukan soal sisa uang Rp 50 juta, tapi ada niat yang kurang pas,” kata Seran.
Anggota Banggar, Padron Paulus mempertanyakan status Lipus Kase dan Mae Salean sebagai peminjam alat berat di Dinas PU. “Coba dipertegas mereka ini statusnya PNS atau kontraktor,” Tanya Padron ke Yusuf Made.
Yusuf pun mengakui status keduanya adalah PNS. “Status dua nama itu mereka bukan kerja proyek atau direktur perusahaan, tapi PNS. Kebetulan ada teman-teman yang mereka kenal baik jadi hanya fasilitasi untuk komunikasi dengan dinas,” kata Yusuf yang mengakui bahwa apa yang terjadi memang tak sesuai SOP.
Adi Talli kembali berkomentar. Ia mengatakan sesuai penjelasan Yusuf Made tersebut, artinya PNS bisa kerja proyek. “Karena di LHP sudah jelas siapa yang pinjam, sewa berapa, pekerjaan di mana. Kesimpulannya PNS di kota khususnya di Dinas PU bisa kerja proyek,” ujar Adi.
Untuk diketahui, dalam lampiran LHP BPK, terdapat sejumlah nama peminjam alat berat, baik atas nama perorangan maupun perusahaan. Tercatat juga jumlah hari penggunaan alat berat dan besaran biaya sewa. Termasuk dengan oknum pejabat di Dinas PU yang menerima biaya sewa dari peminjam. Dalam LHP BPK disebutkan biaya sewa yang disalahgunakan adalah Rp 72.750.000. Jumlah biaya yang belum dibayarkan hanya Rp 7.500.000. Selanjutnya, yang belum terkonfirmasi sebanyak Rp 11.250.000. Dan yang baru disetor ke kas daerah sebanyak Rp 9.750.000. Semestinya total biaya sewa adalah Rp 93.750.000.
sumber:

Komentar