EDARAN LIBUR PASKAH TAHUN 2024

Potret Belanja APBN di NTT


Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir bulan September atau Triwulan III tahun 2017 di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terlihat cukup menggembirakan apabila dibandingkan dengan realisasi belanja nasional. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (Kanwil Ditjen) Perbendaharaan Provinsi NTT mencatat realisasi atau belanja APBN di NTT pada Triwulan III mencapai 58,71%, lebih tinggi dari realisasi nasional sebesar 55,41%. Angka realisasi ini lebih baik apabila dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 57,33% atau tahun 2015 yang sebesar 42,42%.
Apabila melihat jumlah total pagu dana, alokasi dana APBN tahun 2017 mengalami peningkatan apabila dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2017, alokasi dana APBN mencapai Rp 9,6 triliun, sedangkan alokasi tahun 2016 mencapai Rp 8,3 triliun. Dengan demikian realisasi Triwulan III yang mencapai 58,71% menunjukan adanya usaha yang cukup baik dari kementerian/lembaga di Provinsi NTT untuk melaksanakan belanja dana APBN.
Kementerian/lembaga di NTT dengan alokasi belanja tertinggi di tahun 2017 seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR), Kepolisian RI, dan Kementerian Agama (Kemenag) menyumbang realisasi masing-masing sebesar 63,11%, 72,75%, dan 57,15%. Dengan demikian realisasi ini memberikan kontribusi yang positif bagi serapan anggaran di NTT. Tentunya capaian ini masih dapat ditingkatkan lagi apabila dibandingkan dengan provinsi lain misalnya Provinsi Riau yang realisasinya mencapai 63,75%.
Belanja Modal
Komposisi belanja APBN secara umum terdiri atas belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja bantuan sosial (Bansos). Salah satu fungsi APBN adalah fungsi alokasi yakni anggaran negara harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian. Apabila dibandingkan dengan jenis belanja lainnya seperti belanja pegawai maupun belanja barang, belanja modal adalah jenis belanja yang memiliki dampak secara langsung bagi masyarakat dan perekonomian suatu daerah. Dengan demikian, porsi belanja modal yang tinggi akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat dan perekonomian daerah.

Definisi belanja modal menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas, dan kualitas aset. Belanja modal secara umum terdiri atas lima kategori utama yakni belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta belanja modal fisik lainnya. Berdasarkan kategori tersebut dapat dilihat bahwa belanja modal memiliki dampak dan berkaitan dengan masyarakat maupun perekonomian daerah.
Di Provinsi NTT, alokasi belanja pemerintah pusat yang bersumber dari APBN di bumi Flobamora mencapai Rp 9,6 triliun. Rianciannya alokasi belanja pegawai Rp 2,7 triliun (28,12%), belanja barang sebesar Rp 3,2 triliun (33,17%), belanja modal sebesar Rp 3,7 triliun (38,50%), dan belanja bantuan sosial sebesar Rp 20,84 miliar (0,22%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa alokasi belanja yang tertinggi pada APBN di NTT adalah pada jenis belanja modal, yakni mencapai 38,50%.
Alokasi belanja modal yang mencapai Rp 3,7 triliun tersebut hingga Triwulan III tahun 2017 telah direalisasikan sebesar 57,08%.

Angka realisasi belanja modal ini lebih baik apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 50,48%. Hal ini menunjukan adanya usaha untuk semakin mempercepat realisasi belanja modal dari pihak kementerian/lembaga yang ada di NTT. Angka ini akan semakin meningkat pada Triwulan IV seiring dengan berakhirnya tahun anggaran.
Penyerapan yang lebih baik pada Triwulan III tahun ini justru terdapat pada jenis belanja pegawai yang telah mencapai 68,52%, yang mana angka ini lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu sebesar 74,93%. Sedangkan jenis belanja barang masih berada pada angka 52,37%, lebih tinggi dari tahun lalu yang sebesar 49,64%.
Tren penyerapan anggaran secara keseluruhan dari tahun ke tahun cenderung sama, dengan pola kurva yang cenderung landai pada triwulan-triwulan awal dan akan naik tajam pada triwulan terakhir. Seperti halnya tahun 2016 yang juga menunjukan gejala yang sama yakni 57,33% di Triwulan III, di tahun 2017 walaupun capaian Triwulan III cenderung membaik dengan mencapai 58,71%. Namun pola penyerapan yang menumpuk di akhir tahun sepertinya masih belum dapat dihindari.
Realisasi belanja bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur keberhasilan pengelolaan APBN. Pasalnya, pencapaian tujuan atau output tertentu tidak selalu harus dicapai dengan penggunaan angggaran secara maksimal. Namun pola pencairan APBN yang masih menumpuk pada akhir tahun perlu mendapat perhatian dari semua pihak khususnya pengelola dana APBN. Adanya perbaikan pola penyerapan dalam realisasi Triwulan I hingga Triwulan III tahun ini membawa harapan akan perbaikan pola penyerapan belanja APBN di tahun-tahun mendatang.
Efisiensi Belanja
Realisasi anggaran adalah salah satu indikator dalam pengelolaan APBN. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah pengelolaan APBN yang efektif dan efisien, yaitu bagaimana menggunakan anggaran dengan efisien untuk mencapai tujuan atau output yang telah ditetapkan sebelumnya.

Efisiensi belanja khususnya pada jenis belanja konsumtif pemerintah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan sehingga dapat mewujudkan pelaksanaan APBN yang efektif dan efisien. Upaya untuk mengurangi belanja konsumtif pemerintah dapat dilihat saat Presiden Joko Widodo pada 22 Juni 2017 lalu menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Efisiensi Belanja Barang Kementerian/Lembaga dalam pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2017.
Secara umum, jenis belanja modal merupakan jenis belanja yang lebih bersifat investasi dan memiliki dampak langsung kepada masyarakat dan perekonomian negara/daerah, sedangkan belanja pegawai maupun belanja barang lebih merupakan belanja konsumtif atau operasional pemerintah. Maka merupakan hal yang logis apabila pemerintah saat ini memprioritaskan belanja investasi dibandingkan belanja konsumtif pemerintah.
Inpres Nomor 4 Tahun 2017 tersebut ditujukan kepada para pimpinan Kementerian/Lembaga dengan memuat instruksi untuk melakukan efisiensi belanja barang.
Belanja barang dimaksud dalam Inpres ini meliputi perjalanan dinas dan paket meeting, honorarium tim/kegiatan, belanja operasional perkantoran, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja barang operasional dan non operasional lainnya. Dengan terbitnya Inpres ini maka akan mendapatkan efisiensi anggaran sebesar Rp 16 triliun di Kementerian/Lembaga.
Inpres Nomor 4 Tahun 2017 ini sejalan dengan fungsi alokasi APBN yakni anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Dengan demikian, adanya penghematan belanja ini maka pengelolaan APBN akan semakin efektif dan efisien sehingga pada akhirnya akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Sumber:

Komentar