EDARAN LIBUR PASKAH TAHUN 2024

Beginilah Derita Warga Kolong Jembatan Petuk Di Kota Kupang



Bagi warga Maulafa, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mendiami kolong Jembatan Petuk, kehidupan yang dirasakan tidak seindah jembatannya.
Apa yang dirasakan warga kolong Jembatan Petuk, adalah genangan air hujan dan lumpur, ketika langit dengan diam-diam tumpahkan butiran-butiran hujan.
Rumah mereka, ketika hujan turun dari langit, akan terendam setengah tembok karena luapan air hujan dari Jembatan Petuk.
Itulah yang dirasakan warga RT 1, RW 1, Kelurahan Maulafa Liberti Meno Pelo, ibu tiga anak ini.
“Rumah kami tergenang karena pembuangan air dari atas jembatan mengarah ke area ini,” kata Liberti.
Kemarin sewaktu hujan, sambung dia, rumah adik saya tergenang air setengah tembok. “Itu baru hujan musim panas. Apalagi hujan-hujan akhir tahun nanti?” keluh Liberti dengan lemah.
Sebagai warga yang ingin memperjuangkan hak hidupnya, Liberti dan beberapa warga sering mengeluhkan persoalan ini ke pihak kontraktor. Dan pengeluhan itu bukan sekali saja.
“Kami sudah sering mengeluhkan hal ini ke pihak kontraktor. Kami keluhkan soal pipa pembuangan air yang kecil, yang kalau diinjak sapi saja sudah rusak. Namun sepertinya mereka (kontraktor) tidak menggubris,” kata perempuan tiga anak itu.
Berdasarkan pengalaman kemarin, ketika rumah adiknya terendam air sewaktu hujan turun, Liberti mengungkapkan kebimbangannya untuk bertahan sampai hujan akhir tahun datang. Tidak hanya menyangkut rumah yang terendam, demikian menurut Liberti. Tapi juga apakah mereka bisa berjalan, karena lumpur dan air mengelilingi rumah mereka.
“Selain rumah yang terendam, kami juga bimbang, apakah bisa berjalan atau tidak sewaktu hujan, karena air dan lumpur genangi area rumah kami. Rumah yang sudah terbangun sekarang di bawah kolong jembatan ini masih empat buah, tapi jika pemilik tanah semua datang, jumlah keluarga di sini lebih dari sepuluh,” kata Liberti.
Keadaan warga kolong jembatan sebelum pembuatan jembatan Petuk ‘aman-aman’ saja. Mereka tidak pernah mengalami rumah yang terendam air. Tidak juga dengan jalan yang berlumpur dan becek.
“Setelah jembatan ini dibangun, rumah kami terendam sampai setengah tembok. Jalan yang kami lalui tiap hari kini berlumpur. Hal begini tidak pernah kami rasakan. Mereka membangun jembatan, tepat di atas rumah kami, tapi tidak pernah memperhatikan kami,” keluh Liberti lagi.
Untuk bertahan lebih lama jika keadaan ini tidak diperbaiki, demikian aku Liberti, dia lebih baik memilih hijrah. Walau, tanah yang didiaminya sekarang ini sangat subur.
“Tanah di sini subur. Tanam apa saja bisa. Untuk memilih pindah dari sini, bagi saya sangat berat. Tapi hidup kami sudah tidak nyaman. Waktu awal pembuatan jembatan, kami tidak bisa tidur karena pengeboran yang dilakukan. Sekarang hujan dan lumpur. Jika pemerintah menyiapkan tanah atau ganti rugi tanah, saya siap pindah. Walau tanah ini sangat subur,” pungkas Liberti, lemah.
Sumber:

Komentar