EDARAN LIBUR PASKAH TAHUN 2024

Lahan Pembangunan Bendungan Temef Tumpang Tindih

RAPAT PEMANTAPAN. Tim pembebasan lahan pembangunan bendungan Temef saat rapat pemantapan pembebasan lahan yang digelar di ruang rapat Bupati TTS, Jumat (18/5)

Lahan pembangunan bendungan Temef yang mencakup tiga desa di dua kecamatan yakni Kecamatan Oenino dan Kecamatan Polen, status kepemilikannya tumpang tindih. Pemerintah mengklaim bahwa sebagian lahan di tiga desa yakni Desa Konbaki, Desa Oenino dan Desa Pene Utara, merupakan lahan kawasan hutan milik pemerintah yang tercatat sejak tahun 1963.
Hal itu terungkap saat rapat pemantapan pembebasan lahan untuk pembangunan bendungan Temef, yang digelar di ruang rapat Bupati TTS, Jumat (17/5).
Kepala Balai Wilayah Sungai II Nusa Tenggara, Agus Sosiawan mengatakan, persoalan tumpang tindih lahan yang merupakan cakupan genangan bendungan Temef, kiranya dapat dikoordinasikan oleh tim pembebasan lahan, pemerintah, masyarakat dan seluruh stakeholderyang berkepentingan di dalamnya agar tidak memperhambat proses pembangunan bendungan Temef yang saat ini sudah mulai berlangsung.
“Saya berharap persoalan lahan dapat diselesaikan, sehingga tidak berpengaruh pada proses pembangunan yang sudah mulai dilaksanakan,” harap Agus.
Sementara, Bupati TTS, Paulus VR Mella pada kesempatan itu mengatakan, data kepemilikan tanah dimiliki oleh pemerintah. Namun karena selama ini kawasan milik pemerintah dikelola oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, tentu harus diluruskan kembali sesuai data yang ada. Sehingga, pembangunan yang sedang direncanakan tidak merugikan siapa-siapa. Baik itu pemerintah, maupun masyarakat.
Dijelaskan, sesuai data yang ada, sebagian lahan di tiga desa yang bakal menjadi area genangan bendungan Temef, merupakan lahan kawasan hutan Tumbes Laub. Untuk itu, jika data menunjukkan demikian, maka tim persiapan lahan pembangunan bendungan Temef perlu melakukan pendataan terkait berapa banyak luas lahan milik kehutanan dan juga berapa banyak luas lahan masyarakat. Jika tim persiapan sudah memiliki data itu, maka akan dilakukan konsultasi publik guna memberikan pemahaman dan juga pengertian kepada masyarakat.
“Tim juga harus mendata berapa banyak yang kelola lahan milik pemerintah, yang tinggal di dalam kawasan berapa, sehingga bisa disampaikan saat melakukan konsultasi publik nanti,” ujarnya.
Paulus mengatakan, meski tim telah menyampaikan bahwa cakupan genangan air bendungan Temef mencakup wilayah kawasan hutan yang selama ini dikelola dan juga dihuni oleh masyarakat di tiga desa, namun ia akan bersama tim turun langsung ke lokasi untuk melihat kondisi lahan milik pemerintah yang dikelola bahkan dihuni oleh masyarakat di tiga desa.
“Saya akan turun untuk lihat langsung kondisi lahan pemerintah yang dikelola dan dihuni oleh masyarakat untuk kita sama-sama carikan jalan keluarnya seperti apa,” ungkap Paulus.
Diakui, pada prinsipnya masyarakat mendukung program pembangunan bendungan Temef, sehingga bagaimanapun pemerintah harus memikirkan kehidupan masyarakat yang bakal direlokasi dari lokasi yang akan digunakan untuk pembangunan bendungan. Perhatian pemerintah, tentu akan dilakukan berdasarkan regulasi dan ketentuan yang ada sehingga perlu dilakukan pendataan yang baik.
“Sejah ini masyarakat mendukung, sehingga perlu kita pikirkan bersama masyarakat di sana kalau direlokasi bagaimana dengan kehidupan selanjutnya seperti apa. Atau masyarakat yang selama ini mengolah sawah di lahan pemerintah, kalau dihentikan karena untuk kepentingan pembangunan bendungan nanti kita buat mereka seperti apa. Ini perlu kita pertimbangkan secara matang bersaman,” papar Paulus.
Kajari TTS, Fachrizal menegaskan agar tim melakukan pendataan dengan baik agar masyarakat tidak dirugikan dalam pembebasan lahan. Selain itu, pemerintah diminta agar menghargai masyarakat yang selama ini mengolah lahan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
“Jangan abaikan masyarakat, sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik,” katanya.
Tokoh masyarakat Desa Oenino, Thobias Anabanu mengatakan, pihaknya tidak menolak pembangunan bendungan Temef, melainkan mendukung karena itu untuk kebaikan masyarakat TTS. Hanya saja, ia meminta agar pemerintah menghargai masyarakat yang selama ini bermukim di lahan yang bakal dijadikan bendungan.
“Kami tidak perang dengan pemerintah. Kami juga tidak tolak pemerintah. Tapi kami hanya minta agar pemerintah perhatikan kami kalau nanti kami dipindahkan dari daerah kami,” pinta Thobias.
Sementara, Markus Teflopo, warga Desa Konbaki mengaku heran dengan klaim penerintah jika lahan yang selama ini mereka olah diklaim sebagai hutan kawasan. Padahal, kakek nenek mereka tinggal sejak tahun 1913, namun tidak ada satupun pemerintah yang mengaku jika lahan yang mereka tinggal dan olah adalah milik pemerintah. Namun ketika bendungan Temef hendak dibangun dan kawasan mereka merupakan salah satu area genangan air, tiba-tiba saja pemerintah mengklaim jika itu merupakan hutan kawasan.
“Kalau memang ini benar adanya, maka pemerintah harus sampaikan kepada masyarakat saat melakukan sosialisasi publik, sehingga jangan masyarakat yang tanya ke kami terus,” kata Markus. 
Sumber:

Komentar