EDARAN LIBUR PASKAH TAHUN 2024

91 PNS Koruptor di NTT Belum Dipecat

 Demi menjaga tertib administrasi dan tertib asas hukum di kalangan birokrasi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN & RB), Safruddin mengeluarkan surat edaran (SE) yang ditujukan ke seluruh menteri, pimpinan lembaga pemerintah, gubernur, bupati/wali kota. Perihal SE dengan Nomor: B/50/M.SM.OO.OO/2019 tersebut yakni petunjuk pelaksanaan penjatuhan PTDH (Pemberhentian Dengan Tidak Hormat) oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht), tanggal 18 Februari 2019 dan ditandatangani oleh MenPAN & RB Safruddin. Jika SE tersebut tidak ditindaklanjuti hingga tanggal 30 April 2019 maka akan diberi sanksi.
Data terakhir per 26 April 2019, sumber dari Direktorat Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah Ditjen Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebanyak 1.372 PNS dikenai Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), terdiri dari PNS provinsi sebanyak 241 dan PNS kabupaten/kota sebanyak 1.131. Sementara PNS yang belum PTDH sebanyak 1.124, terdiri dari dari PNS provinsi sebanyak 143 dan PNS kabupaten/kota sebanyak 981. Untuk NTT, jumlah PNS koruptor di lingkup provinsi sebanyak lima orang dan untuk kabupaten/kota sebanyak 199. Sehingga total PNS koruptor di NTT sebanyak 204 orang. Dari data tersebut, PNS yang sudah di-PTDH sebanyak 113 orang dan yang belum di-PTDH sebanyak 91 orang.
Untuk kabupaten/kota di NTT, jumlah PNS koruptor terbanyak ada di Kabupaten TTU dengan jumlah 25 orang. Namun baru satu yang sudah di-PTDH. Sementara 24 lainnya belum PTDH. Disusul Kabupaten Manggarai Timur dan Nagekeo dengan jumlah PNS koruptor masing-masing sebanyak 22 untuk Manggarai Timur dan 20 untuk Nagekeo. Namun demikian, untuk Manggarai Timur, 19 orang sudah di-PTDH dan hanga tiga orang saja yang belum di-PTDH. Untuk Nagekeo, dari 20 PNS koruptor tersebut semuanya belum dilakukan PTDH sama sekali hingga saat ini.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Bahtiar Baharuddin kepada Timor Express di Jakarta mengatakan, terkait surat keputusan bersama (SKB) MenPAN & RB), Mendagri dan BKN bukanlah produk hukum baru. Melainkan, SKB tersebut merupakan penegasan agar para Kepala Daerah (Kada) selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5/2014 tentang ASN. “Pada prinsipnya, SKB tersebut tidaklah membuat hukum baru. SKB tersebut adalah penegasan sekaligus imbau agar PPK segera menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5/2014 tentang ASN. Para kepala daerah untuk melaksanakan PTDH terhadap PNS yang tersandung korupai dan kasusnya itu susah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht),” jelas Bahtiar.
Dengan demikian, katanya, SKB tersebut masih sejalan dengan putusan MK. Bahtiar juga meminta para kepala daerah untuk segera melaksanakan putusan tersebut paling lambat tanggal 30 April 2019. “SKB tersebut sejalan dengan putusan MK dan para kepala daerah sebagai PPK diberi batas waktu melaksanakan putusan tersebut paling lambat tangga 30 April 2019. Karena tidak maka akan diberi sanksi,” jelasnya.
Dirinya menjelaskan bahwa maksud dari Putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 dalam perkara Pengujian Undang-undang Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa ” dan/atau pidana umum dalam pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 5/2014 tentang ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 5/2014 tentang ASN berbunyi “Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.”
Untuk diketahui, MK memperkuat Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk percepatan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) koruptor yang kasusnya sudah inkracht. Putusan tersebut guna menjawab gugatan dari PNS Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau yang pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada Tahun 2012 dengan menggugat Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 5/2014 tentang ASN.
Berdasarkan putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 tersebut pemberhentian PNS tidak dengan hormat, adalah bagi mereka berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena melakukan perbuatan yang ada kaitannya dengan jabatan seperti korupsi, suap, dan lain-lain. Sedangkan untuk tindak pidana umum, seperti perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yang dilakukan tanpa perencanaan dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan.
Sumber:

Komentar