EDARAN LIBUR PASKAH TAHUN 2024

CSR Untuk NTT Fair Dan Monumen Pancasila Dinilai Tepat


Inilah kondisi terkini bangunan proyek NTT Fair di Bimoku, Lasiana Kota Kupang. Tampak bangunan senilai Rp 31 miliar ini belum juga rampung meski batas waktu addendem pada Minggu 31 Maret 3019.  Foto: Stef Kosat/VN
 
Langkah Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dalam menyiasati kelanjutkan proyek NTT Fair dan Monumen Pancasila yang terancam mangkrak lewat Corporate social responsibility (CSR) dinilai sangat tepat.

Permintaan tersebut dikemukakan Jefri Un Banunaek, anggota Komisi IV DPRD Provinsi NTT yang membidangi bidang PUPR kepada VN, Rabu (3/3) malam lewat sambungan telepon seluler.
“Saya setuju langkah Pak Gubernur yang ingin tetap melanjutkan proyek mahal itu lewat CSR. Begitulah seharusnya cara pemimpin menyelesaikan persoalan yang melilit pemerintah. CSR adalah langkah cerdas dan tidak melanggar hukum,” ujar Jefri.
Namun, sebelum mengambil langkah tersebut, Gubernur VBL diminta untuk menyelesaikan terlebih dahulu persoalan utama di balik tidak selesainya pengerjaan kedua megaproyek senilai Rp 63 miliar lebih tersebut, karena akan menjadi preseden buruk terhadap Pemprov NTT sendiri di kemudian hari.
Gubernur VBL, kata Jefri, wajib meminta pertanggungjawaban dari kontraktor pelaksana proyek, Kepala OPD, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan juga seluruh anggota panitia. “Harus ada yang bertanggung jawab. Harus diberikan sanksi tegas. Kontraktor harus diPHK dan black list. Kadis PRKP dan PPK selaku pemilik proyek harus tanggung jawab juga. Saya akan minta Ketua (Komisi IV) panggil semua yang terlibat untuk tanggung jawab,” tegas Jefri yang juga punya background pengusaha itu.
Ia mengingatkan Gubernur bahwa dua megaproyek tersebut dalam administrasi keuangan bisa saja dianggap telah menggunakan Rp 63 miliar secara penuh. Padahal, yang terjadi malah terbengkelai.
“Yang perlu diperjelas dan Gubernur harus tahu adalah apa yang terjadi sesungguhnya. Jika pemerintah tidak bisa PHK dan Black list, maka muggkin saja sudah PHO 100 persen. Dan kalau langkah penyelamatan diambil tanpa meminta tanggung jawab semua pihak yang terkait, maka akan menjadi tanda tanya besar di publik. Bukan tidak mungkin ada penilaian Pemerintah melindungi kontraktor,” tandasnya.
Bagi dia, yang perlu diperjelas adalah jaminan ke Bank NTT dari kontraktor, apakah jaminan berupa dana utuh sebesar 30 persen sebagai sisa pekerjaan dikalikan nilai kontrak, atau hanya jaminan berupa asuransi. “Konskuensi dari keputusan ini, kontraktor dijamin dan pasti akan selesaikan pekerjaan. Tapi jika tidak, maka ruang untuk PHK dan black list sudah sangat sulit. Karena bisa saja berita acara PHO sudah di tandatangani kedua belah pihak,” tegas Jefri.
Menurutnya, dua mega proyek peninggalan pemerintahan mantan Gubernur Frans Lebu Raya tahun 2018 yakni pembangunan gedung NTT Fair di Lasiana, Kota Kupang, senilai Rp 31,13 miliar dan Monumen Pancasila di Desa Nitneo, Kupang Barat, Kabupaten Kupang, senilai Rp 32 miliar, seharusnya sudah selesai 31 Maret 2019.
“Seharusnya 31 Desember 2018 selesai. Tapi karena progres masih 70-an persen, maka addendem 50 plus 40 hari lagi. Tapi tetap tidak selesai juga. Maka, wajib hukumnya kontraktor di PHK dan Black List. Pemprov bayar saja sesuai progres dan sisa uang dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Luncuran agar bisa dilanjutkan,” bebernya.
Ia prihatin atas kinerja Dinas PRKP (bukan PUPR), khususnya PPK yang tidak mampu melaksanakan tugas dan kepercayaan dalam jabatannya untuk kedua proyek tersebut.
“Pertama tentu saya sangat prihatin atas kinerja pemerintah dalam hal ini Dinas PRKP, khususnya PPK yang tidak mampu dalam melaksanakan tugas. Saya harapkan Gubernur bertindak tegas terhadap pejabat yang kinerjanya sangat buruk, agar ke depan program pemerintah dapat dijalankan dengan baik dan tepat waktu serta mutu. Proyek dengan anggaran yang besar ini perlu ditelusuri lebih dalam penyebab kegagalan dimana. Saya setuju dengan Pak Gubernur agar kedua proyek gagal itu dibawa ke ranah hukum,” tegasnya.
Sumber:

Komentar