Pinjaman Solusi Kesenjangan Infrastruktur di NTT

KELUHAN tentang buruknya infrastruktur jalan dan jembatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tak pernah habis-habisnya. Para pemimpin daerah ini silih berganti, namun masalah infrastruktur tak pernah terselesaikan. Masyarakat pun dari tahun ke tahun terus mengeluhkan masalah ini.

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi NTT merupakan lembaga teknis yang menjadi sasaran omelan atau protes akibat buruknya infrastruktur jalan dan jembatan ini (khususnya jalan dan jembatan di ruas jalan yang berstatus provinsi). Sebab, dari 2.650 km panjang jalan provinsi, kondisi jalan provinsi yang mantap hanya mencapai 47 persen.

Tapi apakah persoalan buruknya infrastruktur jalan dan jembatan di ruas jalan provinsi sepenuhnya karena salah urus dari lembaga yang menangani langsung infrastruktur jalan dan jembatan tersebut. Jangan dulu berprasangka buruk.

"Total anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan jalan dan jembatan di NTT setahun mencapai Rp 4 triliunan. Namun anggaran yang dialokasikan dari APBD setiap tahun hanya Rp 300 miliar lebih. Itu sudah termasuk untuk gaji pegawai, listrik, air, dan lain-lain," kata Kepala Dinas PUPR NTT, Ir. Andre W Koreh, MT di ruang kerjanya, Selasa (14/11/2017).

Bahkan anehnya, setelah panjang jalan provinsi bertambah menjadi 2.650 km, alokasi DAK untuk infrastruktur jalan dan jembatan di NTT bukannya naik tapi malah menurun. Harusnya, dengan bertambahnya panjang jalan provinsi yang ditangani, DAK lebih besar lagi agar target 70 persen jalan mantap bisa tercapai pada tahun 2019 mendatang.

Akibat terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk infrastruktur jalan dan jembatan, setiap tahun Dinas PUPR NTT hanya bisa membangun 50 km jalan. Jumlah yang tidak sebanding dengan panjang jalan provinsi yang ditangani. Dan karena terbatasnya alokasi anggaran tersebut, maka kebijakan yang diterapkan dalam pembangunan jalan dan jembatan adalah menggunakan asas pemerataan. Setiap kabupaten mendapatkan jatah pembangunan jalan baru setiap tahun dengan kisaran panjang jalan yang dibangun antara 1-2 km.

Kebijakan pemerataan ini pun tidak berjalan mulus. Ada begitu banyak suara protes masyarakat. Ada yang mengatakan, kalau anggaran terbatas, mengapa pembangunan jalan tidak terkonsentrasi pada satu kabupaten. Misalnya pada tahun ini fokus di kabupaten A dan tahun berikutnya fokus di kabupaten B dan seterusnya?

"Itu juga pernah kita wacanakan, asalkan kabupaten lain setuju. Karena kalau saya fokus di Kabupaten Kupang misalnya, maka kabupaten lain seperti Manggarai Timur atau Sumba Timur harus terima. Berarti kita perlu 22 tahun untuk selesaikan pembangunan jalan itu. Apa mereka mau seperti itu?" tanya Andre.

Hal penting yang perlu diketahui bahwa untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan, pemerintah (Dinas PUPR) harus bicara dalam forum kesepakatan bersama pemerintah dengan DPRD. Sebab, DPRD adalah lembaga politik yang punya hak budget dan hak pengawasan. "Kalau dia (DPRD) setuju, misalnya saya fokus di Manggarai Timur, kasih selesaikan semua jalan yang hancur, berarti dari Sumba Barat jangan ribut dong. Begitu dari Alor jangan ribut," katanya.

Tapi kenyataannya, jelas Andre, anggota DPRD dari masing-masing kabupaten juga ribut. Mereka tidak mau daerahnya tidak mendapatkan jatah APBD untuk pembangunan infrastruktur jalan. Ini dapat dipahami karena mereka juga diutus oleh konstituennya untuk memperjuangkan mendapatkan dana APBD untuk pembangunan infrastruktur jalan di daerah pemilihannya masing-masing. Karena itu walaupun sedikit, yang penting di daerah pemilihannya juga ada. "Ini jadi soal. Jadi bukan kami tidak lakukan itu. Kami bisa," katanya.

Butuh Lompatan Kebijakan 

Lalu bagaimana solusi mengatasi kesenjangan infrastruktur jalan dan jembatan di NTT? Menurut Andre, untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur membutuhkan lompatan kebijakan. Sebab kalau mengharapkan DAK dan DAU tidak akan bisa. Apalagi cara menghitung DAK dan DAU berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. Jumlah penduduk NTT cuma 5 juta. Dan luas wilayah NTT, yang dihitung luas wilayah daratan jumlahnya hanya 1/4 dari wilayah lautan. Walaupun setelah menjadi provinsi dengan berciri kepulauan juga dihitung luas lautan, tapi ternyata dana yang diperoleh tetap masih kecil dibanding kebutuhan.

"Kebutuhan kita setahun sampai Rp 4 triliunan untuk menyelesaikan semua persoalan infrastruktur. Karena itu, salah satu solusi yang ditawarkan adalah pinjaman. Syaratnya kepala daerah dan DPRD sepakat," kata Andre.

Ia mengaku telah melontarkan gagasan ini. Kalau kepala daerah dan DPRD sepakat tinggal kasih surat ke pemerintah pusat. Nanti pemerintah pusat atau lembaga yang membantu pemerintah untuk menyusun proposal pinjaman. Proposal ini ditujukan kepada sebuah lembaga namanya SMI di Jakarta. Lembaga ini berada di bawah OJK.

Andre mencontohkan, anggaran pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang dialokasikan ke Dinas PUPR NTT Rp 200 miliar per tahun. Untuk segera menuntaskan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan maka perlu pinjaman. Misalnya meminjam Rp 1 triliun, maka untuk mengembalikannya menggunakan DAU yang jatahnya setiap tahun sudah pasti.

"Kan Dinas PU dapat anggaran dari negara dalam bentuk DAU tiap tahun Rp 200 miliar. Itu sudah pasti. Jadi uang yang dijatahkan itu tidak usah dipakai lagi, tinggal mencicil pinjaman. Jadi dalam jangka waktu tertentu kita tidak pakai uang itu karena kita stor lagi ke negara. Tapi kita sudah dapat barangnya hari ini," katanya. "Contoh lain seperti kita kredit rumah. Kan kita tidak menunggu cicilan rumah selesai bayar baru kita tinggal rumahnya. Tapi begitu uang muka dibayar, kita sudah bisa tinggal di rumah itu," katanya.

Tiga Hambatan 

Menurut Andre, ada tiga hambatan utama pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di NTT, yaitu anggaran, lahan dan koordinasi. Tapi dari tiga hambatan tersebut, ada dua hambatan klasik dan berulang di semua infrastruktur, yaitu uang (anggaran) dan lahan. Ada uang tapi lahan tidak ada. Atau ada lahan tapi uang tidak ada.

Untuk masalah lahan kuncinya pada koordinasi. Kadang-kadang kita bangun infrastruktur tidak bermanfaat karena kurangnya koordinasi atau koordinasi lemah. Karena kurangnya koordinasi maka manfaat yang diharapkan juga kecil atau hilang. Mestinya kalau koordinasi dari hulu ke hilir sudah ok baru bisa jalan sehingga ketika bangunan selesai bisa bermanfaat.

"Tapi yang terjadi ini kan sporadis. Baru di hulu selesai langsung hajar. Sementara di hilir belum selesai. Kalau dari hulu sampai hilir belum selesai jangan hajar. Ada banyak contoh kasus akibat lemahnya koordinasi ini," katanya.

Lemahnya koordinasi itu, jelas Andre, terjadi pada tahap perencanaan maupun pada saat pelaksanaan. Selama ini pembangunan terlalu sektoral. Bahkan ego sektoral terlalu mendominasi. Koordinasi gampang diomong tapi begitu dilaksanakan banyak komplikasi. Koordinasi harus menjadi kata kunci.

"Jadi orientasi pembangunan sekarang harus pada manfaat. Apakah proyek ini bermanfaat bagi masyarakat? Setelah bermanfaat apakan berkualitas?," katanya. 

Mengenai realisasi fisik proyek yang ditangani Dinas PUPR NTT tahun 2017, Andre menyebutkan, hingga pertengahan November 2017 mencapai 78-80 persen (fisik) dan keuangan hampir 50 persen, karena proses pembayaran masih sedang berlangsung. Andre optimis hingga akhir Desember 2017 realisasi fisik di atasi 95 persen.

Sumber:

http://kupang.tribunnews.com/2017/11/21/pinjaman-solusi-kesenjangan-infrastruktur-di-ntt?page=1