SELEKSI PENERIMAAN PPPK LINGKUP PEMPROV NTT T.A 2024

Jalan Sengsara Menuju Amfoang, Jarak 181 Km Menghabiskan Waktu Berjam- jam

Warga mendorong mobil yang terjebak dalam banjir di Amfoang


Kondisi jalan di wilayah AmfoangKabupaten Kupang memilukan. Umumnya tidak beraspal, berlubang, kelikir berserakan dan badan jalan bergelombang. Di musim kemarau seperti sekarang, debu tebal berterbangan ketika kendaraan melintas.
Meski berada dalam kendaraan, tubuh terguncang hebat. Badan miring kiri kanan, tiba-tiba pantat terangkat dari tempat duduk. Seperti sedang berdisko tanpa musik. Sudah begitu, harus makan debu. Tubuh pun terasa remuk.
Kondisi ini dialami Pos Kupang saat melakukan perjalanan dari Kota Kupang menuju Desa Oepoli, Kecamatan Amfoang Timur. Meski berjarak sekitar 181 kilometer (Km), harus ditempuh 7 jam lamanya menggunakan mobil.

Pos Kupang mendatangi Oepoli yang berbatasan dengan negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), Jumat-Sabtu (5-6/10/2018). Bergabung dalam rombongan PLN Wilayah NTT melakukan press tour ke wilayah Amfoang.
Perjalanan ke Oepoli melintasi jalur yang disebut sebagai jalan pantai. Kondisi jalan cukup baik hingga memasuki wilayah Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat. Selepas itu, jalan mulai rusak dan harus melintasi kali kecil tanpa jembatan.
Rombongan kemudian sampai Desa Naitae. Sepanjang perjalanan dari Poto ke Naitae, terdapat tujuh kali kecil tanpa jembatan. Pada jalur itu, ada ruas jalan yang sudah beraspal, tapi masih banyak jalan tanah.
Selanjutnya melintasi ruas jalan Siumate-Nuataus, terdapat tujuh kali tanpa jembatan. Kondisi jalan mulai tidak bagus. Sebelum sampai ke Desa Nuataus, ruas jalan masih bagus dibandingkan ruas jalan sesudah Nuataus, kecuali di Manubelon yang jalannya ada sedikit beraspal.

Keluar dari Desa Nuataus, ada bukit kecil yang disebut orang sebagai bukit putih. Diberi nama bukit putih karena setiap kendaraan yang melewati lokasi itu, tidak terlihat baik dari depan maupun belakang karena tertutup debu yang berterbangan.
Perjalanan melewati jalan pantai melintasi wilayah Kecamatan Sulamu-Fatuleu Barat- Amfoang Barat Daya-Amfoang Barat Laut-Amfoang Utara dan Kecamatan Amfoang Timur. Saat musim kemarau seperti sekarang, saat melalui kali yang tidak ada jembatan tanpa hambatan. Terkecuali kali Bisnaen di Siumolo yang ada air cukup dalam serta satu kali sebelum masuk Amfoang Timur. Pengemudi harus ekstra hati- hati.
Menurut hitungan Pos Kupang, kali tanpa jembatan atau deker sepanjang jalan menuju Oepoli sebanyak 54. Lebarnya bervariasi, ada yang kecil dan kali yang lebarnya sekitar 300 meter.

Rusaknya ruas jalan menuju ke Amfoang Timur, ini dialami karena harus melalui ruas jalan yang batu-batu lepas, bahkan ada juga ruas jalan yang menurun tapi tidak padat sehingga debu beterbangan dan jarak pandang sangat pendek. Penumpang tidak bisa duduk manis. Harus berpegang kuat pada bagian kendaraan karena mengalami goncangan hebat.
"Kita lalui jalan bertepung karena semuanya debu putih yang beterbangan," ujar Joko Martono, Manager Unit Pelaksana Proyek Ketenagalistrikan (UPPK) Kupang PT PLN (persero) Unit Induk Wilayah NTT.

Rasa waswas muncul saat melintasi jembatan Termanu di Desa Manubelon. Jembatan dari rangka besin baja yang dibangun tahun 1994 sepanjang sekitar 100 meter itu kondisinya miring. Lantai jembatan terbuat dari kayu sudah lubang sana sini. Beberapa kayu juga sudah terlepas. Kendaraan roda empat harus satu per satu, tidak bisa jalan beriringan.
Tokoh masyarakat Amfoang, Tom Kameo mengatakan inilah kondisi jalan di Amfoang. "Bapak dan ibu sudah merasakan bagaimana perjalanan menuju Amfoang. Saya bilang kita disko tanpa musik. Badan miring ke kiri, ke kanan, tiba-tiba terangkat karena oto lewat di atas jalan yang tidak rata, batu-batu yang cukup besar. Belum lagi ditambah dengan debu yang banyak," ujar Tom Kameo.

Menurut Tom, Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat pada saat kampanye di Oepoli mengatakan jalan Amfoang ini akan mendapat perhatian dari pemerintah. "Kami berharap pemerintah bisa memperhatikan ruas jalan ini," katanya.
Warga Netemnanu Utara, Birgita Efi dan Yohanes Parera mengatakan akses transportasi ke Oepoli sangat sulit. "Kalau dengan bus, kami jalan jam 8 pagi maka tiba di Kota Kupang Kupang sekitar jam 9 malam atau 10 malam," kata Brigita.
Menurutnya, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 100 ribu per penumpang, belum lagi ditambah dengan barang. "Kalau musim hujan, jalan melalui pantai tidak bisa dilewati karena banjir. Kami memang biasanya lewat Eban-TTU karena waktunya lebih cepat," ujar Birgita.

Warga lainya, Yohanes mengatakan, untuk ke kantor Bupati Kupang saja membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Bukan hanya jalur pantai yang rusak tapi jalan dari Naikliu-Lelogama juga rusak. Apalagi dari arah Naikliu harus mendaki. Batu-batu lepas yang berada di badan jalan membuat kendaraan juga harus ekstra hati-hati.
Supervisor yang membawahi PLN Sub Unit Naikliu, Lelogama dan Oepoli, Hengky Funay mengungkapkan pada musim hujan sulit untuk bepergian, bahkan untuk ke desa tetangga saja sulit karena ada banjir. "Kami harus tunggu sampai banjir selesai baru bisa jalan," katanya.
Warga Desa Nuataus, Eloriana dari Desa Nuataus mengungkapkan, pada musim hujan mereka kesulitan untuk mendapatkan transportasi. "Kalau pun harus jalan, terpaksa kami harus tunggu sampai banjir di kali berkurang baru bisa jalan. Bisa tunggu sampai dua tiga jam. Itu baru satu kali. Padahal ada banyak kali cukup lebar yang harus dilalui. Jadi kalau mau jalan ke Kupang saat musim hujan maka maka harus siap makan, karena tidak tahu jam berapa bisa sampai Kupang," ungkapnya.

Dia menambahkan, kesulitan lainnya adalah anak-anak yang ke sekolah terutama untuk SMA, terpaksa harus menyeberang kali yang sedang banjir.
Seorang petani, Yohanes mengungkapkan tingginya biaya transportasi membuat masyarakat tidak bisa menjual hasil pertanian mereka ke Kupang. "Bukan hanya mahal, tapi juga butuh waktu lama. Sampai di Kupang, hasil pertanian sudah rusak, jadi apa yang mau dipasarkan di sana. Biasanya kami jual di sekitar sini saja, di pasar- pasar desa," ujarnya.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan warga juga sulit misanya semen. Saat ini harga semen per zak Rp 60 ribu tapi kalau musim hujan maka harganya bisa sampai Rp 75 ribu per zak. Mengenai bahan bakar minyak (BBM), khususnya bensin, bisa dibeli secara eceran dengan harga Rp 10 ribu per botol. "Kalau bensin harganya Rp 10 ribu per botol. Ya kami anggap saja satu botol satu liter," kata Brigita Efi.
Hal yang sama diungkapkan Tom Kameo bahwa masyarakat di Oepoli dan Amfoang pada umumnya sulit untuk membawa hasil ke luar Amfoang karena susahnya transportasi.

105 Km Belum Diaspal
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kupang, Joni Nomseo mengatakan, ruas jalan nasional untuk lintasan poros tengah yang menghubungkan wilayah Amfoang, panjangnya mencapai 149 Km. Sementara total kali dengan lebar rata-rata 8 meter jumlahnya mencapai 38 unit yang selama ini belum dibuatkan jembatan.
"Dari total panjang jalan tersebut baru diaspal mencapai 44 km," kata Joni Nomseo, Senin (8/10/2018).
Joni Nomseo yang juga Pelaksana tugas (Plt) Sekda Kabupaten Kupang menjelaskan, ruas jalan poros tengah di daerah ini khusus menghubungkan daerah Amfoang merupakan tanggung jawab Balai Jalan Nasional. Dari data yang dimilikinya, lanjutnya, panjang jalan nasional itu mencapai 149 kilometer dan sampai tahun 2018 ini yang sudah diaspal baru 44 kilometer atau masih 105 kilometer kondisinya rusak parah.
Saat ini, kata Joni, sesuai informasi yang diperolehnya, sekitar 7 kilometer telah proses tender untuk diaspal. "Cuma perusahaan mana yang kerja, berapa total dananya dan titik mana yang diaspal, itu ada datanya di Balai Jalan Nasional. Kami sendiri tidak mengetahui secara jelas," kata Joni.

Dikatakannya, persoalan utama yang dihadapi warga Amfoang setiap tahun adalah masalah infrastruktur jalan. Padahal poros tengah sangat stategis untuk akses ke wilayah perbatasan. Untuk itu, diharapkan pemerintah pusat bisa melihat kondisi ini dan bisa diaspal. Warga Amfoang sangat merindukan jalan beraspal sehingga setiap tahun mereka tidak lagi kesulitan jika bepergian ke Kupang.

"Kalau program Pak Gubernur NTT memperhatikan ruas jalan ke Amfoang tentu ini luar biasa. Warga Amfoang selama ini bilang bahwa Indonesia merdeka sudah sekian tahun tapi mereka belum merdeka karena persoalan jalan itu," ujar Joni.
Tokoh masyarakat Amfoang, Melianus Akulas mengatakan, sebagai anak tanah Amfoang dirinya merasa sedih melihat kondisi jalan ke daerah ini. Warga setiap tahun mengeluh karena sulit ke Kupang karena kondisi jalan yang memrihatinkan. Ada saat musim kemarau warga bisa bepergian keluar Amfoang tetapi saat musim hujan tiba sangat kesulitan.
Untuk itu, kata Akulas, apabila ada program dari Gubernur NTT untuk menutaskan ruas jalan yang rusak ke Amfoang tentu secara pribadi dan atas nama warga Amfoang sangat berterima kasih. "Kami berterima kasih untuk Pak Gubernur Viktor Laiskodat yang punya perhatian terhadap akses jalan ke Amfoang. Kalau aspal seluruh ruas jalan yang ada di poros tengah ini tentu kami merasa sudah merdeka. Selama ini kami memang belum merasa merdeka karena ruas jalan ini rusak berat," kata Akulas.

Sumber:

Komentar